Monday, February 2, 2015

Kehebatan Kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH

KULIAH SUBUH
KEHEBATAN KALIMAT LAA ILAAHA ILLALLAAH
KH. AYI BURHANUDIN

"... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan" (QS. al-Maidah : 15). Nabi Muhammad diciptakan dari Nur keagungan Allah Swt. Dari Nur itulah kemudian tercipta seluruh makhluk. Kalimat ma'rifat yang sudah kita dapatkan juga merupakan bagian dari Nur Muhammad. Dzikir Jahar dan dzikir Khofi bisa menjadi cahaya penerang bagi kita dan menjadi api bagi syetan sehingga membakarnya.

Kalimat dzikir Laa ilahaa illallah mempunyai 19 nama diantaranya :

Kalimat tauhid,
Kalimat Ikhlas,
Kalimat Ahsan,
Kalimat da'watul haq,
Kalimat thoyyibah,
Kalimat 'Urwatul wutsqo,
Kalimat tsamanul jannah
Kalimat taqwa,
Kalimat Islam,
Kalimat kedekatan dengan Tuhan,
Kalimat kemenangan dst.

Alhamdulillah kita sudah mendapatkannya.

Kehebatan Laa ilahaa illallah itu disebutkan : Tidak akan dibuka pintu langit (kesatu, kedua ... ketujuh) oleh Allah bagi orang yang berdo'a jika tidak melalui kalimat Laa ilahaa illallah. Artinya do'a tidak akan diijabah apabila kalimat Laa ilahaa illallah menyertainya. Kunci Pintu Surga adalah Laa ilahaa illallah. Alhamdulillah kita sudah mendapatkannya dan mudah-mudahan bisa membukanya. Sebaliknya kalimat Laa ilahaa illallah bisa menutup pintu neraka. Barokah dari langit dan bumi akan datang kepada orang yang banyak mengucapkan Laa ilahaa illallah. Kalimat Laa ilahaa illallah bisa membuka/mengeluarkan ruh manusia yang tidak bisa kembali kepada Allah ketika azalnya tiba. Hakikat Laa ilahaa illallah adalah dzikir Khofi. Dengan dzikir inilah kita belajar untuk bisa kembali kepada Allah. Dzikir Laa ilahaa illallah bisa menutup, mengendalikan nafsu jelek yaitu nafsu amarah dan lawwamah juga untuk mengunci pintu kemaksiatan. Mudah-mudahan kita semua mampu mengamalkan dzikir ini sesuai dengan tuntunan, bimbingan dan contoh dari Guru Mursyid.


Sumber
read more

Saturday, January 24, 2015

Beda waktu Sholat dan Dzikir

Beberapa waktu yang lalu, setelah kami menulis status tentang dalil-dalil bolehnya dzikir Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan 1000, dan bahwa hal tersebut tidak termasuk tasyabbuh yang dilarang, ada sebagian Wahabi yang menulis bantahan dan mengutip dari kitab al-Istinfar karya Syaikh Ahmad al-Ghumari dan al-Bidayah wa an-Nihayah karya al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i. Akan tetapi setelah kami lihat, ternyata argument bantahan tersebut sama sekali tidak mengena terhadap persoalan yang dibahas. Oleh karena itu, di sini kami tulis jawaban secara ilmiah.
 
WAHABI: “Kita tidak boleh shalat ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam. Karena matahari terbit dan terbenam antara dua tanduk setan, dan orang kafir sujud pada saat itu. Maka kita dilarang tasyabbuh kepadanya!
 
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
 
“Lakukan shalat Shubuh kemudian berhentilah shalat sampai terbitnya matahari hingga dia agak naik meninggi, karena matahari itu terbit antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir sujud.” Kemudian beliau Saw. juga bersabda di hadits yang sama:
ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kemudian hentikan shalat sampai terbenam matahari karena dia terbenam antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir bersujud.”
 
SUNNI: “Shalat memang beda dengan dzikir dan Tahlilan. Ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam, shalat sunnah tidak boleh dilakukan. Tetapi untuk dzikir dan Tahlilan justru dianjurkan. Dalam kitab-kitab dijelaskan:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من صلى الفجر فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم يصلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة تامة تامة تامة.
Anas bin Malik Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan shalat Fajar (Shubuh), kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian shalat 2 rakaat, maka ia memperoleh pahala seperti pahala haji dan umrah sempurna sempurna sempurna.” (HR. at-Tirmidzi no. 586, dan berkata ini hadits hasan gharib).
عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَعَدَ فِى مُصَلاَّهُ حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَىِ الضُّحَى لاَ يَقُولُ إِلاَّ خَيْرًا غُفِرَ لَهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ ».
Dari Sahal bin Mu’adz bin Anas al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang duduk di tempat shalatnya ketika selesai shalat Shubuh sampai menunaikan 2 rakaat shalat Dhuha, ia tidak berkata kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya diampuni meskipun lebih banyak daripada buih di lautan.” (HR. Abu Dawud no. 1287, ath-Thabarani no. 442, al-Baihaqi no. 4686 dan Ahmad no. 15661).
 
نْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَنْ أَقْعُدَ أَذْكُرُ اللهَ وَأُكَبِّرُهُ وَأَحْمَدُهُ وَأُسَبِّحُهُ وَأُهَلِّلُهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَمِنْ بَعْدِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ
Dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Seandainya aku duduk berdzikir kepada Allah, mengagungkanNya, memujiNya, bertasbih dan bertahlil kepadaNya hingga matahari terbit, lebih aku cintai daripada aku memerdekatan 2 budak atau lebih dari keturunan Ismail. Dan dari setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam, lebih aku senangi daripada aku memerdekakan 4 orang budak dari keturunan Ismail.” (HR. Ahmad no. 22194, dan sanadnya hasan).
Dalam hadits-hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang tidak kami sebutkan di sini sangat jelas bahwa waktu dzikir, termasuk Tahlilan dan Yasinan, lebih luwes dan lebih longgar daripada waktu shalat. Meskipun orang-orang kafir sedang menyembah matahari atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan, dzikir seperti Tahlilan tetap dianjurkan. Oleh karena itu, perkatan Syaikh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya al-Istinfar li Ghazw at- Tasyabbuh bi al-Kuffar halaman 33:
ال العلماء : نهى صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في هذين الوقتين الذين يسجد فيهما الكفار للشمس وإن كان المؤمن لا يسجد إلا لله تعالى حسما لمادة المشابهة وسدا للذريعة. وفيه تنبيه على أن كل ما يفعله المشركون ينهى المؤمن عن ظاهره وإن لم يقصد التشبه فرارا من الموافقة في الصورة والظاهر.
 
“Para ulama mengatakan, Rasulullah Saw. melarang shalat di kedua waktu yang bersujud padanya orang-orang kafir kepada matahari, meskipun orang mukmin tidak sujud kecuali kepada Allah Ta’ala. Tujuannya adalah untuk memutus materi musyabahah (penyerupaan) dan menutup jalan. Di dalamnya juga ada peringatan bahwa setiap yang dilakukan kaum musyrikin maka kaum mukmin dilarang melakukannnya dari sisi dzahir yang sama meski dia tidak bermaksud menyerupai (orang musyrik itu) demi menghindarkan diri dari ketersesuaian dalam bentuk dan dalam dzahir (fenomena).”
Perkataan tersebut tidak dapat diartikan secara mutlak, mencakup terhadap semua bentuk ibadah seperti dzikir. Karena dzikir memang berbeda dengan shalat. Dalam hadits lain tentang dzikir, Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ يَتَحَسَّرُ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلا عَلَى سَاعَةٍ مَرَّتْ بِهِمْ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيهَا.
Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak pernah menyesal penduduk surga kecuali karena satu waktu yang mereka lalui, sedangkan mereka tidak mengisinya dengan dzikir kepada Allah.” (HR. al-Hakim, at-Tirmidzi juz 4 halaman 106, ath-Thabarani no. 182, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 513 dan ad-Dailami no. 5244. Al-Hafidz ad-Dimyathi berkata: “Sanad hadits ini jayyid.” Lihat dalam al-Matjar ar-Rabih halaman 205).
Hadits ini memberikan pesan, bahwa dzikir dianjurkan setiap saat, tanpa dibatasi dengan waktu. Oleh karena itu perkataan Syaikh al-Ghumari dalam al-Istinfar, demikian pula perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, keduanya sepertinya mengutip dari Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, tidak dapat diartikan secara mutlak. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri, mengamalkan dzikir sejak selesai shalat Shubuh sampai matahari naik ke atas. Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ حتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأَحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ .
 
“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat Shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi Saw.: “Allahumma antassalam...” Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi Saw., lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah Swt. untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat Shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang al-Fatihah sejak selesai shalat Shubuh hingga matahari naik. Dalam hal itu aku merenung: “Mengapa ia hanya rutin membaca al-Fatihah, tidak yang lainnya?” Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam–, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi Saw. daripada membaca al-Quran, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah halaman 37-39).
 
Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat Shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga Nahdliyyin. Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan oleh warga Nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surat al-Fatihah hingga matahari naik ke atas. Rutinitas Syaikh Ibnu Taimiyah tersebut memberikan kesimpulan, bahwa dzikir tetap dianjurkan meskipun orang kafir sedang menyembah matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan. Dzikir Tahlilan tetap berjalan kapan saja, termasuk 7 hari, hari ke 40, 100, 1000 dan lain-lain. Wallahu a’lam.
KH. Muhammad Idrus Ramli
read more

7, 40, 100 Hari Tahlilan

 
WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan ke 1000. Kalau tidak, Anda akan masuk neraka!”
 
SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan 1000?”
 
WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula!”
 
SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah wal Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”
 
WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”
 
SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”
 
WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut orang-orang Hindu melakukan kesyirikan!?”
 
SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah Swt. dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:
 
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ.
 
Dari Ibnu Mas’ud Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 9797 dan al-Mu’jam al-Ausath no. 271. Al-Hafidz as-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ ash-Shaghir no. 4310).
 
Dalam acara tahlilan selama 7 hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi Tahlilan itu.
 
WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke 40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh!”
 
SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”
 
WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama!?”
 
SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah Saw.”
 
WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah!?”
 
SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini:
 
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ.
 
Ummu Salamah Ra. berkata: “Rasulullah Saw. selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau Saw. bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad no. 26750, an-Nasa’i juz 2 halaman 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
 
Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya. Maka Rasulullah Saw. menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan sebagai penghormatan kepada si mati.
 
WAHABI: “Owh, iya ya.”
 
SUNNI: “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”
 
WAHABI: “Ya, baca kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”
 
SUNNI: “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”
 
WAHABI: “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas. Sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”
 
SUNNI: “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf dan gengsi belajar agama kepada para kyai pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”
 
WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”
 
SUNNI: “Anda dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silakan. Bagi kami tidak ada persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir Tahlilan.”
Sumber : KH. Muhammad Idrus Ramli
read more

Saturday, January 17, 2015

Rahasia Kalimat Tahlil

Salah satu dzikir yang paling utama adalah kalimat La ilaha Illallah/ لاإله إلاالله yang artinya tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah swt. Begitulah pesan Rasulullah saw kepada Sayyidina Ali Karramallahu wajhah, ketika beliau secara pribadi memohon agar diberikan dzikir khusus yang lebih berat dari dunia seisinya, dan lebih mudah mendekatkan diri kepada Allah swt.
Maka Rasulullah saw pun menjawab,”Jangan begitu Saudaraku Ali, bahwa ucapan yang paling utama yang aku ucapkan dan juga diucapkan nabi-nabi sebelumku adalah La ilaha Illallah:

أفضل ماقلت أنا والنبيون من قبلي لاإله إلاالله

Sebaik-baik ucapan yang aku dan nabi-nabi sebelumku ucapkan adalah kalimah La ilaha Illallah
Demikianlah Rasulullah saw memberikan ijazah dzikir لاإله إلاالله kepada sayyidina Ali yang kemudian diturunkan kepada para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in hingga kepada kita semua. Karena sesungguhnya kalimat لاإله إلاالله menyimpan beribu hikmah bahkan hikmahnya sampai dunia seisinya.
Dalam salah satu hadits riwayat sahabat Anas ra. Disebutkan:

مَنْ قَالَ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَمَدَّهَا هُدِمَتْ لَهُ أَرْبَعَةُ آلافِ ذَنْبٍ مِنَ الْكَبَائِرِ

Barang siapa yang membaca kalimat tauhid لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dan memanjangkannya, maka baginya akan dihapus empat ribu macam dosa besar”.
Pada saat itu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, lalu bagaimana apabila dia (seseorang) tidak memiliki dosa besar ?”, Rasulullah menjawab ; “Maka yang dihapuskan empat ribu macam dosa besar adalah keluarga dan para tetangganya”.
Diantara ajaran para ulama ketika membaca panjang kalimat Tauhid, adalah memanjangkan kata LA sambil kepala berpaling ke sebelah kanan dan hati menghayati artinya yaitu “tidak ada”. Dan Ketika melafalkan ILAHA sambil kepala bergerak ke bagian tengah dan hati menghayati artinya yaitu “Tuhan yang wajib disembah”. Kemudian ktika melafalkan ILLALLAH sambil kepala berpaling kesebalah kiri dan hati menghayati artinya yaitu “melainkan Allah”.
Dan yang penting diperhatikan juga adalah menyambung kalimat tauhid tersebut dengan kalimat

مُحَمَّدُ رَسُوْلُ اللهِ

di dalam hati serta menghayati artinya yaitu “Muhammad adalah utusan Allah”. Hal ini untuk membedakan cara membaca kalimat Tauhid umat Rasulullah Muhammad saw dengan umat terdahulu.
Sebenarnya berdzikir dengan kalimat tauhid ini tidak hanya dianjurkan kepada umat Muhammad saw saja, tetapi juga umat para nabi terdahulu. Sebuah cerita menggambarkan hal ini diriwayatkan dari Wahab bin Manbah.

عن وهب بن منبه رضي الله عنه قال قرأت في آخر زبور داود عليه الصلاة والسلام ثلاثين سطرا يا داود هل تدرى أي المؤمنين أحب إلى أن أطيل حياته الذي إذا قال لا إله إلا الله اقشعر جلده وإني أكره لذلك الموت كما تكره الوالدة لولدها ولابد له منه انى أريد ان أسره في دار سوى هذه الدار فان نعيمها بلاء ورخاءها شدة فيها عدولا يألوهم خبالا يجرى منهم مجرى الدم من أجل ذلك عجلت أوليائي إلى الجنة لولا ذلك لما مات أدم عليه السلام وولده حتى ينفخ

Diriwayatkan dari Wahab bin Manbah bahwa dia pernah berkata “aku telah membaca tiga puluh baris terakhir dari kitab zaburnya Nabi Daud as. (di dalamnya diterangkan) Allah berfirman kepada Nabi Daud “Apakah kamu tahu orang mukmin yang paling Aku inginkan untuk Ku-panjangkan umurnya?” Nabi Daud menjawab “tidak tahu”. Kemudian Allah menjelaskan “Yaitu orang mukmin yang jika membaca kalimat tauhid akan merinding bulu-bulunya. Dan Aku sangat membenci (tidak menginginkan) orang mukmin seperti itu lekas (cepat) mati, seperti orang tua yang tidak rela anaknya mati. Sesungguhnya Aku ingin sekali menyenangkannya di rumah yang bukan rumah ini (fana = dunia). Karena kenikmatan di dunia ini merupakan cobaan, dan kemewahan-kemewahan itu hanyalah kesengsaraan. Di samping itu, di dunia banyak musuh yang mondar-mandir terus mengalir mengepungnya seperti aliran darah yang mengajak pada kerusakan. Oleh karena itu, Aku segerakan mereka para kekasih-Ku (mati) lalu masuk ke surga-Ku. Andaikata tidak demikian, niscaya tidak akan mati Nabi Adam as. dan anak cucunya hingga ditiupnya sangkakala.
Demikianlah posisi pentingnya kalimat tauhid لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ bagi seorang mukmin, ia tidak sekedar sebagai kalimat pengakuan keesaan Allah swt, akan tetapi juga sebagai kunci menuju kesuksesan hidup di akhirat nanti. Sebagaimana janji Allah yang dijelaskan kepada Nabi Daud as. Karena itulah dikatakan

مفتاح الجنة لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

bahwa kunci masuk surga adalah La Ilaha Illallah.




Sumber
read more

Tuesday, January 13, 2015

Seputar tahlilan

Sebagai warga NU kita mengetahui banyak aktifitas ritual ibadah seperti tahlil, fida’an, ziarah makam, tawasul, mauludan, nuzulul Qur’an dll, sudah menjadi aktifitas keseharian di kalangan Nahdliyyin. Namun di tengah-tengah masyarakat Nahdliyyin sendiri ternyata masih ada yang tidak mengerti dasar hukumnya, baik dari Al Qur’an atupun AL Hadits yang menjadi landasan dari semua aktifitas ibadah tersebut. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kegamangan untuk melaksanakannya sebagai aktifitas ibadah yang benar-benar mendapat legitimasi dari syara’. Dan juga adanya kemungkinan keyakinan kita akan keabsahan aktifitas ibadah tersebut akan goyah karena adanya pihak-pihak tertentu yang menuduh ritual-ritual ibadah kita di atas merupakan bid’ah yang sesat.
Dari permasalahan tersebut, kita dituntut untuk mempelajari dan mengetahui dasar-dasar hukum baik dari Al Qur’an atau Al Hadits yang menjadi landasan ritual-ritual ibadah warga Nahdliyyin agar kita dapat melaksanakan aktifitas ibadah yang telah disebutkan di atas dengan mantap tanpa sedikitpun adanya keraguan.


TAHLIL

A. Devinisi Tahlil
Devinisi bahasa, terma tahlil yang berasal dari gramatika arab berupa shighot masdar dari fi’il madly hallala yang berarti membaca kalimat tayyibah la ilaha illallah.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya di Negara Indonesia khususnya, tahlil dikonotasikan sebagai ritual keagamaan yang memuat susunan literatur ayat-ayat al Qur’an, dzikir,guna mendoakan orang-orang yang telah meninggal dunia. Penyematan rangkaian dzikir dengan istilah tahlil ini sesuai dengan kaidah gramatika arab berupa dzikru al-juz wairodatul kull(menyebutkan sebagian isi dan menghendaki keseluruan)
Tahlil biasanya di baca saat berziarah ke pekuburan, saat kematian seseorang, atau di berbagai even-even keagamaan seperti pengajian, selamatan dll. Kususnya di tanah jawa, pembacaan tahlil ditradisikan oleh komunitas masyarakat dan di Realisasikan pada setiap malam jum’at yang bertempat di rumah-rumah penduduk secara bergiliran.
Tradisi tahlil agaknya telah mengakar kuat dalam lubuk hati masyarakat muslim jawa. Terbukti dalam setiap acara-acara keagamaan. tahlil selalu menjadi konsumsi menu utama dalam berbagai rangkaian even acara. Meski demikian kita perlu mengetahui secara kongkrit problematika tahlil ini. Baik dari sejarah penyusunannya, hukum membacanya, ataupun tendensi pengambilan hukumnya. Mengingat begitu maraknya berbagai komunitas muslim yang berasumsi bahwa tahlil termasuk bid’ah dan perbuatan dosa yang menyebabkan kufur.

B. Sejarah Asal Mula Munculnya Tahlil
Jika kita melihat historis yang telah ada, sebenarnya Tahlil sudah ada pada saat zaman nabi Muhammad SAW, terbukti dengan adanya ungkapan tersebut, hanya saja tidak tersusun rapi sebagaimana saat ini, yang telah dianggap oleh kebanyakan manusia buta sebagai bid’ah dlolalah, terutama oleh golongan non NU. Tahlil yang biasa kita lakukan dengan tujuan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal dunia, sebenarnya bermula dari perjuangan sunan-sunan Walisongo, yang mana pada saat itu adat istiadat orang jawa, ketika ditinggal mati oleh sanak keluarganya dilakukan ritual selama tujuh hari berturut-turut dan hari ke empat puluh setelah kematian, mereka (orang jawa ) mempercayai bahwa ritual ini dapat menebus dosa-dosa mayyit atau paling tidak bisa menambah kebaikan-kebaikannya. Dari latar belakang semacam inilah, maka sunan-sunan WaliSongo tergugah untuk merubah adat istiadat mereka dengan ritual yang Islami, hanya saja oleh beliau-beliau disadari bahwa adat semacam ini tidak mungkin dirubah secara total, karena kalau sampai dirubah secara total maka sudah bisa dipastikan bahwa orang jawa tidak mau mengikuti ajaran Walisongo, bahkan mungkin mereka akan melakukan tindak anarkis yang bisa membahayakn kelangsungan dakwah para Wali di tanah jawa ini, sebab selain mereka sudah sangat percaya dengan adat semacam ini, mayoritas orang jawa pada saat itu adalah abangan (manusia keras kepala dan anti agama). Maka muncullah satu pemikiran hebat dari sunan walisongo untuk memanfaatkan tujuh hari atau lainnya, dari apa saja yang telah mereka adatkan, dengan diisi tahlil bersama, sebagaimana yang telah kita rasakan saat ini kemanfaatannya, jadi jangan sekali-kali mempunyai anggapan bahwa tahlil hanya akal-akalan orang NU tanpa adanya tendensi (pegangan) hukum yang jelas.

C. Hukum Tahlil
Terkait pembacaan hukum tahlil, diperlukan berbagai tinjauan mengenai permasalahan-permasalahan yang terkait di dalamnya. Seperti hukum membaca dzikir, memintakan ampun bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dan lain-lain. Berikut akan dibahas satu persatu beberapa tendensi dalil agar mendapat kesimpulan yang akurat dan jelas.

D. Membaca AL Qur’an Dan Dzikir
Membaca al Qur’an sangat di anjurkan agama. Dengan membacanya hati seseorang menjadi tenang, disamping itu al Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia. Perintah membaca al Qur’an ini tertera dalam firman Allah swt.
“ Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al Kitab (Al Quran) “(QS. Al Ankabut;45)

Bahkan membaca al Qur’an termasuk ibadah terbaik bagi umat Islam, sebagai mana sabda Rosulullah saw.

اَفْضَلُ عِبَادَةِ اُمَّتِي قِرَاءَةُ الْقُرْاَن

Yang paling utama dari ibadah umatku adalah membaca al Qur’an.(HR. Imam baihaqi).

Sama dengan keutamaan al Qur’an pembacaan dzikir juga dikategorikan sebagai ibadah yang sangat di anjurkan oleh agama. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa firman Allah awt. Seperti berikut ini.
" Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang".)QS.al Ahzab:41-42)
“ Ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.”(QS. An Nisa’:103)

Dari berbagai dalil di atas, para ulama’ menyimpulkan bahwa membaca dzikir adalah sunnah, dengan metode dalam kondisi dan situasi apapun. Mengenai bentuk susunan dzikir dalam tahlil seperti yang telah kita kketahui, mu’tamar jam’iyyah thoriqoh di madiun memutuskan bahwa penyusun bacaan tahlil adalah Syeh al Barzanji. Pernyataan ini bertendensi pada sanad tahlil yang diterima beberapa ulama dari Syeh Yasin al Fadany al Makky dengan rangkaian sanad sampai imam al Barzanji.
Susunan dzikir dalam tahlil sebagaimana yang telah kita ketahui tidak mempengaruhi hukum asalnya, yakni sunnah. Begitu pula metode pelaksanaan dzikir, baik sendirian maupun kolektif. Bahkan membaca dzikir bersama-sama bisa memberi pengaruh baik pada hati, dan membuka penghalang kalbu.
Metodologi al Ghozali, dzikir dimetaforkan sebagaimana adzan, maksudnya semakin banyak orang yang mengumandangkannya, semakin menggema pula seruan Allah swt di cakrawala, dan hati manusia yang lupa semakin mudah tergugah. Demikian komentar al Ghozali yang dikutip oleh syeh Ibn ‘Abidin dalam kitab beliau. Terdapat berbagai dalil yang menjelaskan keutamaan dzikir secar kolektif, salah satunya hadis shohih yang diriwayatkan oleh imam Muslim:

لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّوَجَلَّ اِلاَّحَفَّتْهُمْ اَلْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ اَلرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah berkumpul sekelompok orang sambil berzikir kepada Allah kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah swt melimpahkan rahmad kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan Allah swt menyebut mereka dihadapan para malaikat yang berada di sisinya” (HR riwayat Muslim).

E. Mendoakan Orang Setelah Meninggal Dunia
Sebagimana keterangan di atas, misi utama membaca tahlil adalah mendoakan orang yang telah meninggal dunia dan memohonkan ampun atas orang-orang yang telah meninggal dunia dan memohonkan ampun atas dosa mereka. Para ulama mencetuskan tradisi tahlil ini bukannya tak berdasar. Banyak tendensi yang mendasari inisiatif mereka, berbagai tendensi dalil yang melandasi pencetusan ritual ini adalah.

Pertama, firman Allah swt.dalam al Qur’an karim
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka(muhajir dan Anshor) mereka bertanya: Ya Alloh, berilah ampunan pada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (QS. Surat al Hasyr”10)



Kedua hadis dari sayyidina Usman bin ‘affan ra. Yang artinya “ Dahulu setelah mayyit dikebumikan, Rasulullah berdiri di depan makam dan bersabda

اِسْتَغْفِرُوْلِاَخِيْكُمْ وَسَلُوْ لَهُ بِالتَّثْبِيْتِ فَاِنَهُ اَلاَنَ يُسْاَلُ

“Mintakan ampun bagi saudara sekalian ini, dan berdoalah agar ia di teguhkan (dalam menjawab pertanyaan malaikat) karena saat ini ia sedang ditanya . (HR.Dawud).
Anjuran dan perintah Hadist di atas sekaligus mendasari pendapat para ulama yang menyatakan bahwa pahala dan doa yang dikirim dan dihadiahkan kepada mayat bisa bermanfaat baginya. Sebab tidak mungkin Allah swt dan Rasulnya menganjurkan sesuatu bila tidak ada manfaat didalamnya.
Selain dalil-dalil diatas, terdapat beberapa literal ayat Al Qur’an yang menerangkan bahwa do’a sebenarnya dapat membawa pengaruh positif dan manfaat baik bagi dirinya sendiri atau orang lain.
" Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal."(QS.Muhammad.19)
" Ya Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)".(QS.Ibrohim.41)
Sedang mengenai membaca al Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayat, ada beberapa dalil yang mendasari hal ini di antarnya
Sabda rosulullah dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah.

اِقْرَؤُوْا يَس عَلَى مَوْتَاكُمْ

“Bacalah surah Yasin kepada orang yang meninggal dunia diantara kalian.(HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

وَىَس قَلْبُ الْقُرْانِ لاَيَقْرَؤُهَارَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ تَبَرَكَ وَتَعَالَى وَالدَّارَالاَخِرَتَ اِلاَّغُفِرَ لَهُ وَاقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ

Surah Yasin adalah jantung al Quran tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan (keridloan) Allah tabaroka wataala dan negeri akherat, melainkan Allah swt mengampuninya. Dan bacakanlah orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (HR. Ahman Bin Hambal)

Menurut Syeh Muhibbuddin at thobari, terma ‘ mautakum’dalam redaksi di atas dioreantasikan pada jasad seseorang yang kondisi ruhnya telah terpisah , lebih lanjut beliau berargumen bahwa mengartikan terma mautakum dengan arti orang yang akan meninggal dunia termasuk komentar yang tidak benar.
Berbeda dengan sayyid Zainal ‘abidin al Alawi al Husaini dalam kitab al ajwibah al-gholiyah fi ‘aqidah firqoh an najiyah. Beliau mengutip komentar para ulama muhaqqiqin yang menyebutkan bahwa hadits di atas bisa di artikan secara global, maksudnya berlaku bagi seseorang yang sedang dalam kondisi sekarat ataupun telah meninggal dunia
Berbagai hadits lainya menunjukkan bahwa menghadiahkan pahala do’a kepada seseorang yang telah meninggal dunia bisa memberi manfaat, di antaranya
“Barang siapa melewati kuburan dan membaca surat al Ikhlas sebelas kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang mati, maka ia akan diberi pahala sesuai jumlah orang yang meninggal.(HR. ad-Daruqutni).
“Sesungguhnya Allah meninggikan derajat seorang hamba yang sholih di surga. Ia bertanya ; wahai Tuhanku, bagaimana aku mendapatkan ini? Allah menjawab: Dengan permohonan ampun dari anakmu untukmu”(HR. Ahmad).
Demikian beberapa tendensi al Qur’an dan Hadits yang menjadi dasar mendoakan atau menghadiahkan pahala ibadah kepada seseoarang yang telah meninggal dunia. Dan masih banyak lagi tendensi dalil lain yang di ambil dari perkataan para ulama sebagai pewaris Rasulullah dan para sahabat.
Imam Abu Hanifah berkomentar:
“Barang siapa mengatakan pahala doa tidak sampai kepada mayyit maka ia telah merusak kesepakatan para ulama”.
Imam ibnu hajar berargumen
“Ulama sepakat mengenai sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al Qur’an , doa, istighfar yang itu semua termasuk kategori shodaqoh.
Imam an Nawawi dalam kitab al Adzkar ikut berkomentar: ulama sepakat bahwa doa yang diperuntukkan pada orang yang wafat akan memberikan manfaat serta akan sampai pahalanya.
Kesimpulannya, bahwa membaca tahlil, mendoakan mayyit atau menghadiahkan pahala amal kebaikan untuk mayyit hukumnya diperbolehkan bahkan dianjurkan. Hal ini tidak lain karena pahala pahala yang dihadiahkan bisa sampai dan bermanfaat bagi mayyit.
Mengenai ayat dalam surah Al Baqoroh ayat 286 tidak boleh secara sembarangan mengartikan seperti apa adanya Dhohirun nas, namun karena ada sebuah Hadits yang yang secara tegas menyatakan bahwa manusia sebenarnya bisa mendapatkan amal kebaikan orang lain ketika orang lain meniru jalan kebaikan yang ia tuntunkan, ataupu dapat dosa orang lain ketika ada orang lain melakukan keburukan yang ia ajarkan Hadits tersebut adalah
“Barang siapa membuat jalan yang baik, maka baginya pahala atas apa yang ditempuhnya ditambah pahala orang-orang yang mengerjakannya. Dan barang siapa membuat jalan buruk, maka baginya dosa atas jalan yang ditempuhnya ditambah dosa orang-orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat(HR. Bukhori)

F. Tanggapan atas beberapa dalil
Sebenarnya ada beberapa ayat yang kelihatannya kontradiksi dengan hujjah-hujjah di atas, namun perlu adanya kajian yang mendalam sehingga ayat-ayat yang kelihatannya kontradiksi tersebut menjadi selaras dengan pemahaman pembenaran atas sampainya pahala amal yang dihadiahkan kepada orang yang beriman yang telah meninggal. Biasanya ayat tersebut dipergunakan oleh orang non NU untuk mengkaim ritual NU sebagai tindakan TBC (tahayul, bid’ah dan churofat). Ayat-ayat tersebut adalah.
“ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”(QS. An Najm ayat 39)
Jika dilihat secara tekstual ayat diatas mengandung arti bahwa manusia hanya memperoleh pahala amal kebaikan yang dilakukannya sendiri. Tidak mungkin mendapatkan balasan amal kebaikan orang lain. Pemahaman ini bertabrakan dengan pemahaman bahwa amal kebaikan bisa bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Dari sini mari kita menelaah pemaparan syeh Sulaiman bin Umar al Ajily mengenai kisah Ibnu Abbas, seorang sahabat yang sewaktu kecil mendapat doa langsung dari Rasulullah
“Ya Allah !berilah ia (Ibnu Abbas) pengetahuan dalam agama dan berilah ia di pengetahuan tentang ta’wil” (HR. Ahmad)
Beliau menjelaskan, esensi firman Allah swt. Dalam surah An Najm ayat 39 telah direvisi. (di nasech) oleh firman Allah dalam surah At Thur ayat 21 yang menjelaskan bahwa seseorang bisa menerima kebaikan amal perbuatan yang dilakukan orang tua dan para leluhur mereka. Ayat tersebut adalah:
"Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?"(QS. At Thur ayat 21)
Lebih lanjut beliau menjelaskan korelasi hukum didalam surah An Najm ayat 39 di atas hanya berlaku pada masanya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim saja, bukan pada era umat Muhammad saw. Pendapat serupa juga dikomentari oleh sahabat “Ikrimah , bahwa umat Muhammad saw akan mendapatkan manfaat kebaikan amal kebaikan yang dilakukannya sendiri maupun perbuatan orang lain yang dihadiahkan untuknya termasuk anak dan cucu bisa masuk surga lantaran kebaikan yang dilakukan orang tua mereka.


FIDA’AN

Fida’an termasuk istilah jawa yang diadopsi dari bahasa arab berupa kata fida diartikan dengan menebus, tebusan. Dalam fersi jawa khususnya fida’an populer sebagai tradisi keagamaan yang biasanya diisi bacaan dzikir dengan maksud menebus/membebaskan seorang (setelah meninggal dunia ) dari neraka. Biasanya dzikiran dalam even fida’an berupa kalimah toyyibah (la ilaha illallah) sebanyak 70.000 kali atau surah Al Ikhlas sebanyak 100.000 kali. Umumnya ritual keagamaan ini biasa dilaksanakan dirumah duka selama 7 malam pertama sejak kematian. Tendensi dalil terkait dengan ritual ini adalah hadits atsar riwayat syeh Abi Zait al Qurtubi yang dikutib syeh Abu Muhammad Abdullah bin As’ad al Yafi’i

سَمِعْتُ مِنْ بَعْضِ الْاَثَرِاَنَّ مَنْ قَالَ لاالهَ اِلاَّ اللهُ سَبْعِيْنَ اَلْفِ مَرَةٍ كَانَتْ فِدَاءَهُ مِنَ النَّارِ فَعَمِلْتُ عَلَى ذَالِكَ رَجَاءً بَرَكَةِ الْوَعْدِ اَعْمَاَ لاًاِدَّخَرَتْهَا وَعَمِلْتُ مِنْهَا لِاَهْلِى

“Aku mendengar dari salah satu atsar (Hadits sahabat nabi) sesungguhnya barang siapa membaca lailaha illallah sebanyak 70.000 kali maka bacaan tersebut akan menjadi tebusannya dari api neraka.( HR. al Qurtubi)
Sedangkan tendensi dalil terkait dengan ritual fidaan mengenai bacaan surat al ikhlas sebanyak 100.000 kali berupa hadits Rosulullah saw.

مَنْ تَلَى قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدْ مِائَةَ اَلْفِ مَرَّةٍ فَقَدِ اشْتَرَى نَفْسَهُ مِنَ اللهِ وَنَادَى مُنَا دًى مِنْ قَبْلِ اللهِ تَعَالَى في سمَوَا تِهِ وَفيِ اَرْضِهِ اَلاَ انَّ فُلاَنًا عَتِيْقِ اللهِ فَمَن لَهُ قَبْلَهُ تِبا عَةُ فلْيَآْخُذْهَا من اللهِ عزَّ وجلَّ

Barang siapa yang membaca surah al ikhlas 100.000 kali maka ia telah menebus dirinya dari Allah swt kemudian akan menggema seruan dari sisi Allah swt di langit dan di bumi,”Ingatlah sesungguhnya seseorang telah dibebaskan oleh Allah swt dari api neraka.maka barang siapa mempunyai hak atas orang tersebut, maka menuntutkah kepada Allah azza wa jalla.(HR. Al Bazzar dari anas bin Malik)
Meski kesahihan hadits pertama masih dianggap pro kontra lantaran imam al Qurtubi di anggap kurang membidangi ilmu hadits, namun sebagian pendapat menilai bahwa kualitas hadits di atas di anggap benar dan dapat diikuti. Penilaian ini bukannya tak berdasar, sebab hadits di atas juga tertulis dalam kitab al Maqosid al Hasanah fi al Hadits ad Diro’ah ‘ala al Alsinah karya Imam al Hafidh Syamsuddin al Sakhawi.
Salah satu ulama yang mendukung ideology ini adalah Ahmad bin Muhammad al Wayily dan Imam syaikhul Islam at Thanbadawi al Bakri. Didukung pula keterangan yang menyebutkan

من بَلَغَهُ عنِ اللهُ شيءٌ لهُ فِيهِ فَضِيلةٌ فآَخَذَهُ اِيمانًا به ورَجاءَ ثَوَا بهِ اَعْطَاهُ اللهُ عزَّ وَجلَّ ذلِكَ واِنْ لمْ يَكُنْ كذَالكَ

Barang siapa yang datang kepadanya dari Allah suatu amal yang mempunyai keutamaan , kemudian dia mengamalkan dengan mengimaninya dan mengharapkan limpahan pahalannya maka Allah swt akan memberikan apa yang dia harapkan walaupun sebenarnya suatu amal tadi sebenarnya tidak seperti itu. (HR. hasan ibnu Arofah).
Dari penjelasan di atas setidaknya dapat difahami bahwa ritual fida’ yang umumnya digelar masyarakat muslim Indonesia bukan tanpa dasar.
Al ‘Alamah Jamal al Qomath berkomentar mengamalkan hal yang demikian sebenarnya lebih utama, karena tidak bertentangan dengan ushul syariah(dasar agama) argumentasi ini di amini oleh sayyid Muhammad Bin Ahmad Bin Abdul Barry Al Ahdaly

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat difahami bahwa ritual tahlil dan fida’ yang dilaksanakan oleh kalangan Nahdliyyin memiliki dasar dari Al Qur’an dan Al Hadits dan juga bukan merupakan tindakan bid’ah.

G. Tanggapan atas beberapa dalil

Sebenarnya ada beberapa ayat yang kelihatannya kontradiksi dengan hujjah-hujjah di atas, namun perlu adanya kajian yang mendalam sehingga ayat-ayat yang kelihatannya kontradiksi tersebut menjadi selaras dengan pemahaman pembenaran atas sampainya pahala amal yang dihadiahkan kepada orang yang beriman yang telah meninggal. Biasanya ayat tersebut dipergunakan oleh orang non NU untuk mengkaim ritual NU sebagai tindakan TBC (tahayul, bid’ah dan churofat). Ayat-ayat tersebut adalah.
“ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”(QS. An Najm ayat 39)
Jika dilihat secara tekstual ayat diatas mengandung arti bahwa manusia hanya memperoleh pahala amal kebaikan yang dilakukannya sendiri. Tidak mungkin mendapatkan balasan amal kebaikan orang lain. Pemahaman ini bertabrakan dengan pemahaman bahwa amal kebaikan bisa bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Dari sini mari kita menelaah pemaparan syeh Sulaiman bin Umar al Ajily mengenai kisah Ibnu Abbas, seorang sahabat yang sewaktu kecil mendapat doa langsung dari Rasulullah
“Ya Allah !berilah ia (Ibnu Abbas) pengetahuan dalam agama dan berilah ia di pengetahuan tentang ta’wil” (HR. Ahmad)
Beliau menjelaskan, esensi firman Allah swt. Dalam surah An Najm ayat 39 telah direvisi. (di nasech) oleh firman Allah dalam surah At Thur ayat 21 yang menjelaskan bahwa seseorang bisa menerima kebaikan amal perbuatan yang dilakukan orang tua dan para leluhur mereka. Ayat tersebut adalah:
"Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya."
Lebih lanjut beliau menjelaskan korelasi hukum didalam surah An Najm ayat 39 di atas hanya berlaku pada masanya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim saja, bukan pada era umat Muhammad saw. Pendapat serupa juga dikomentari oleh sahabat “Ikrimah , bahwa umat Muhammad saw akan mendapatkan manfaat kebaikan amal kebaikan yang dilakukannya sendiri maupun perbuatan orang lain yang dihadiahkan untuknya termasuk anak dan cucu bisa masuk surga lantaran kebaikan yang dilakukan orang tua mereka.


Sumber
read more

Artikel Teman :