Thursday, December 24, 2009

Hukum Tahlilan Menurut Madzhab Syafi'i

Oleh: Abdurrahman (pembaca setia MB)

Setelah membaca artikel yang ditulis oleh Ali Asyhar dan komentar-komentar para pembaca, saya tertarik untuk melakukan kajian terhadap masalah yang diperbincangkan tersebut.

MUQADDIMAH

Manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepadanya (QS. Adz-Dzariyaat: 56) dan Allah swt telah menurunkan kitabnya dan mengutus rasulnya untuk mengajarkan kepada manusia bagaimana cara beribadah kepada Allah, namun kenyataannya banyak ritual-ritual yang dilakukan oleh umat islam khususnya di indonesia yang tidak jelas asal-usulnya dalam agama, akan tetapi justru seakan-akan hukumnya menjadi wajib seperti acara tahlilan. Acara ini selain tidak ada dasarnya dalam agama juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan tidak sedikit orang yang tidak mampu namun memaksakan diri, sampai ada yang terpaksa berhutang untuk melakukannya.

Mengingat yang melakukan tahlilan ini adalah para pengikut bermadzhab syafi'i, maka saya tertarik untuk mengkaji tahlilan dalam literature madzhab syafi'. Setelah menelaah kitab-kitab fiqh madzhab syafi'i saya tidak menemukan pembahasan tentang tahlilan, namun ada dua masalah yang berkaitan dengan tahlilan yaitu tentang apakah menghadiahkan pahala kepada mayit sampai atau tidak? Dan yang kedua masalah ma'tam yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan keluarga mayit memberikan makanan kepada orang-orang yang datang.

1. Menghadiahkan pahala kepada mayit.

Para ulama madzhab syafi'i berbeda pendapat tentang sampainya hadiah pahala kepada mayit. Pendapat yang masyhur adalah tidak sampai. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kitab sebagai berikut:

1. Imam Nawawi berkata di dalam kitabnya, SYARAH SHAHIH MUSLIM, : “Adapun bacaaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka pendapat yang masyhur dalam madzhab imam Syafi’i, bahwa pahalanya tidak dapat sampai kepada mayit, dan sebagian sahabatnya (imam syafi'i) berkata: pahalanya sampai kepada mayit." (SYARAH MUSLIM, Juz 1 Hal.90).

2. Dalam kitab al-Majmu' disebutkan: "Para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala bacaan Al Qur'an, pendapat yang masyhur dalam madzhab syafi'i dan sekelompok ulama bahwa ia tidak sampai. Ahmad bin Hambal dan sekelompok ulama dan sekelompok para sahabat imam syafi'i berpendapat bahwa ia sampai." (al-Majmu' 15/521, 522.

3. Dalam kitab mughni al-Muhtaj, asy-syarbini berkata: "Perkataan mushannif bisa dipahami bahwa tidak bermanfaat hadiah pahala selain itu (sedekah) seperti menqadha' shalatnya atau lainnya, dan bacaan Al Qur'an, ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab kami." (mughni al-Muhtaj 4/91)

4. Ibnu Katsir dalam tafsirnya TAFSIRUL QUR’ANIL AZHIM menafsirkan ayat 39 Surat An Najm dengan mengatakan: “Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39/29), Imam Syafi’i ra. dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit tidak akan sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah Shalallaahu’alaihi Wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya (untuk menghadiahkan pahala bacaan kepada mayit), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Juga tidak ada seorang sahabatpun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau seandainya amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) hanya terbatas pada yang ada nash-nashnya (dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallaahu’alaihi wasallam) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/328)

Keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam kitab: Raudhah at-thalibin 2/376, Fathul wahhab 2/31.

Namun demikian kalau pun ada perbedaan pendapat dalam masalah mengirimkan pahala bacaan Al Qur'an kepada mayit, tidak dapat dikatakan bahwa tahlilan merupakan masalah khilafiyah, karena antara tahlilan dan menghadiahkan pahala, masalahnya berbeda, dan ulama yang berpendapat sampainya pahala bacaan kepada mayit tidak bisa dikatakan membolehkan tahlilan, sebab acara tahlilan bukan hanya sekedar mengirimkan pahala bacaan kepada mayit, tapi lebih dari itu, dalam acara tahlilan di situ ada orang banyak yang berkumpul di rumah keluarga mayit pada tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seribu hari, di sana juga ada acara hidangan makanan dari keluarga mayit untuk orang-orang yang hadir. Masing-masing masalah ini perlu pembahasan tersendiri tentang hukumnya, hal ini dibuktikan bahwa para ulama yang cenderung kepada sampainya hadiah pahala kepada mayit, berpendapat tidak boleh kumpul-kumpul di rumah mayit setelah mayit dikuburkan (lihat: fathul wahhab 2/31, I'anatutthalibin 2/165).

2. Berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayit.

Masalah kedua yang dibahas oleh para ulama madzahab syafi'i berkaitan dengan kematian adalah berkumpul dan menghidangkan makanan di rumah keluarga orang yang meninggal. Para ulama madzhab syafi'i tidak membolehkan perbuatan tersebut, ini bisa dilihat dalam kitab-kitab berikut:

1. Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm : “Aku tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru, membebani biaya, disamping riwayat yang lalu (maksudnya hadits tentang niyahah).” (al-Umm 1/318).

2. dalam kitab raudhatutthalibin Imam Nawawi mengutip perkataan pengarang kitab asy-syamil: “Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ adalah tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah bid’ah. ” (raudhah at-thalibin 1/195). Perkataan ini juga disebutkan beliau dalam kitanya al-Majmu' syarah muhadzzab (5/320).

Kemudian beliau menyebutkan dalil pendapat ini yaitu hadits Jarir bin Abdillah berkata: “Kami mengganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan setelah mayit dikuburkan adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayit, yakni haram).” (al-Majmu' 5/320).

3. dalam kitab I'anatutthalibin disebutkan beberapa fatwa ulama mekah berkaitan dengan masalah ini, diantaranya adalah fatwa ulama madzhab syafi'i di mekah yaitu syaikh Ahmad zaini Dahlan, beliau berkata: "Apa yang dilakukan oleh orang yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan merupakan bid'ah yang mungkar, dimana pemerintah mendapat pahala dengan melarangnya." (I’natut Thalibin, 2/165).

Di akhir fatwanya beliau berkata: “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah berarti menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang sangat memaksakan diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan.” (I’natut Thalibin, 2/166).

Masih banyak lagi keterangan dalam kitab-kitab madzhab syafi'i tentang larangan berkumpul dan dihidangkannya makanan di rumah keluarga mayit dan tidak bisa dimuat di sini semuanya, pembaca bisa melihat di antaranya: Asna al-Mathalib 4/371, syarh al-Bahjah al-wardiyah 5/164, mughni al-Muhtaj 1/268, hasyiyah al-Qulyubi 1/353.

Kesimpulan:

Dari telaah di atas dapat di simpulkan:

1. Tidak ada keterangan dalam madzhab syafi'i tentang acara tahlilan seperti yang berlaku dan sudah menjadi tradisi di masa sekarang ini, dan ini tentunya karena tidak ada dalil dari Al Qur'an maupun hadits juga tidak ada contoh dari para sahabat, sebab kalau seandainya ada dalilnya tentu para ulama telah melakukannya.

2. Ada dua masalah yang berkaitan dengan tahlilan, yaitu menghadiahkan pahala bacaan kepada mayit, dan berkumpul serta menghidangkan makanan bagi orang-orang yang hadir di rumah keluarga mayit.

3. Ada perbedaan pendapat tentang menghadiahkan pahala bacaan kepada mayit, dan pendapat yang masyhur dalam madzhab syafi'i bahwa hal itu tidak sampai kepada mayit.

4. Pendapat yang mengatakan sampainya pahala bacaan kepada mayit tidak serta merta bisa dijadikan dalil tentang bolehnya acara tahlilan, sebab ulama yang cenderung pada pendapat yang mengatakan sampai, mereka mengatakan bahwa berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayit adalah bid'ah.

5. Mengingat acara tahlilan adalah berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayit, maka tahlilan ini termasuk dalam kategori yang dilarang, dan merupakan perbuatan bid'ah munkarat yang harus dicegah..

Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : http://www.bawean.net/2009/10/hukum-tahlilan-menurut-madzhab-syafii.html

No comments:

Post a Comment

Artikel Teman :